Pelukan yang Mengantar Kepergian
Hujan kota Seoul malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Butir-butirnya menari di kaca jendela apartemen Hae-won, memburamkan lampu-lampu kota yang gemerlapan. Di tangannya, ponsel bergetar, menampilkan notifikasi pesan. Bukan dari dia. Bukan dia yang selalu hadir dalam setiap mimpi dan denyut jantungnya.
Hae-won menyesap kopi Americano-nya yang mulai dingin. Aromanya, dulu, adalah aroma kebersamaan, aroma tawa, aroma cinta. Sekarang, hanya aroma pahit penyesalan.
Semuanya berawal dari notifikasi. Pertemuan pertama di grup penggemar drama Korea, obrolan tengah malam tentang episode terbaru, dan akhirnya, pertemuan tatap muka di sebuah kafe kecil di Gangnam. Kim Jae-hyun. Namanya seperti melodi yang indah, parasnya seperti aktor utama dalam drama romantis favoritnya.
Mereka berbagi segalanya. Mimpi, harapan, bahkan ketakutan terdalam. Pesan-pesan panjang penuh emoji di KakaoTalk, foto-foto konyol yang dikirimkan tengah malam, video call larut malam yang dipenuhi tawa dan bisikan. Namun, seiring waktu, semuanya berubah.
Jae-hyun mulai menjauh. Pesan-pesan menjadi lebih pendek, video call lebih jarang, dan tatapan matanya, dulu penuh cinta, kini dipenuhi kegelapan. Hae-won merasakan ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terucap.
Kemudian, dia menghilang. Tanpa penjelasan. Tanpa pesan perpisahan. Hanya keheningan yang memekakkan telinga.
Hae-won mencoba menghubunginya. Puluhan panggilan tak terjawab, ratusan pesan tak terkirim. Sisa-sisa chat mereka terhampar di layar ponselnya, menjadi bukti bisu sebuah cinta yang belum selesai.
Dia mencari jawaban. Menelusuri media sosial Jae-hyun, bertanya pada teman-temannya. Semua menggelengkan kepala. Jae-hyun seolah lenyap ditelan bumi.
Suatu malam, di tengah badai yang mengamuk, Hae-won menerima sebuah amplop tanpa nama. Di dalamnya, sebuah flash drive. Dengan tangan gemetar, dia mencolokkannya ke laptop. Sebuah video muncul.
Di video itu, Jae-hyun tampak kurus dan pucat. Tatapannya kosong. Dia berbicara tentang penyakitnya, tentang rahasia yang selama ini dia simpan. Penyakit yang merenggut ibunya, penyakit yang akan merenggut nyawanya.
Dia meninggalkan Hae-won bukan karena dia tidak mencintainya. Justru karena terlalu mencintainya. Dia tidak ingin Hae-won melihatnya menderita, tidak ingin menjadi beban baginya.
Hae-won menangis. Air matanya bercampur dengan air hujan yang menetes dari rambutnya. Dia mengerti sekarang. Semua keheningan, semua kepergian, semuanya demi melindunginya.
Tiga bulan kemudian, Hae-won berdiri di depan sebuah lukisan di sebuah galeri seni di Itaewon. Lukisan itu berjudul "Pelukan yang Mengantar Kepergian". Lukisan itu menggambarkan seorang pria dan wanita berpelukan di tengah hujan. Di sudut lukisan, tertulis nama Kim Jae-hyun.
Hae-won tersenyum tipis. Dia tahu sekarang. Jae-hyun tidak benar-benar pergi. Dia hidup dalam lukisan itu, dalam setiap tetes hujan, dalam setiap aroma kopi. Dia hidup dalam kenangan mereka.
Hae-won mengeluarkan ponselnya. Dia mengetik sebuah pesan. Bukan untuk Jae-hyun. Tapi untuk dirinya sendiri.
"Aku baik-baik saja. Aku akan mengingatmu. Selalu."
Dia menekan tombol kirim. Pesan itu terkirim. Bukan ke ponsel Jae-hyun. Tapi ke dalam hatinya.
Lalu, dia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan lukisan itu, meninggalkan masa lalu, meninggalkan segalanya.
Enam bulan kemudian, sebuah notifikasi muncul di ponsel Hae-won. Sebuah undangan pernikahan. Namanya? Park Seo-joon.
…Dan senyum simpul terukir di bibirnya.
Apakah ini akhir? Entahlah. Yang jelas, kisah ini belum selesai.
You Might Also Like: Jual Skincare Yang Cocok Untuk Semua
Post a Comment